Sunday, 14 April 2013

Perbedaan Kehidupan Politik dan Ekonomi Indonesia pada Masa Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Terpimpin

Nama : Andri, Richard Auwyano, Vania


BAB I
PENDAHULUAN


1.1       Latar Belakang
Masa Demokrasi Parlementer di Indonesia diwarnai oleh pemerintahan dengan tujuh masa kabinet yang berbeda. Ketujuh kabinet itu adalah Kabinet Natsir, Kabinet Sukiman, Kabinet Wilopo, Kabinet Ali Sastroamidjojo I, Kabinet Burhanuddin Harahap, Kabinet Ali Sastroamidjojo II, dan Kabinet Djuanda atau Kabinet Karya. Dalam sistem Demokrasi Parlementer, para menteri atau para kabinet tersebut bertanggung jawab secara langsung kepada parlemen. Hal itu mengakibatkan kabinet sering jatuh karena mosi tidak percaya dari parlemen. Kinerja kabinet juga sering mengalami kebuntuan dan ditentang oleh parlemen karena adanya kelompok oposisi yang kuat sehingga mengakibatkan timbulnya konflik kepentingan dalam proses perumusan dan pembuatan kebijakan negara. Selain itu, pada masa ini juga terjadi kegagalan konstituante dalam menyusun dan menetapkan Undang-Undang Dasar baru bagi Indonesia karena adanya sikap mementingkan golongan tertentu atau partai politik dalam konstituante.
Pada masa Kabinet Sukiman, pemerintah mulai memberlakukan proses nasionalisasi ekonomi yang menyangkut tiga bidang utama, yaitu nasionalisasi de Javasche Bank menjadi Bank Indonesia, pembentukan Bank Negara Indonesia, dan pemberlakuan Oeang Repoeblik Indonesia (ORI). Namun, proses nasionalisasi ekonomi tersebut tidak berjalan mulus karena konflik kepentingan politik antar kelompok di dalam tubuh konstituante dan parlemen.
Perpindahan dari sistem Demokrasi Parlementer menjadi sistem Demokrasi Terpimpin diwarnai dengan ancaman konflik internal dalam negara karena tingginya benturan kepentingan antar kelompok politik di Indonesia. Karena itu, pada 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang menyatakan dibubarkannya konstituante, pemberlakuan kembali UUD 1945 sebagai pengganti UUDS 1950 dan sebagai UUD resmi Negara Republik Indonesia, serta pembentukan MPRS dan DPAS dalam tempo secepatnya. Pengeluaran Dekrit Presiden ini merupakan akhir dari masa Demokrasi Parlementer dan awal terbentuknya masa Demokrasi Terpimpin sebagai pengganti Demokrasi Parlementer yang telah gagal mencapai tujuannya dalam bidang politik dan ekonomi Indonesia.
Dalam pelaksanaan sistem Demokrasi Terpimpin, Partai Komunis Indonesia (PKI) yang diketuai oleh Presiden Soekarno berusaha untuk mengambil alih kekuasaan di Indonesia. Hal itu menyebabkan sendi-sendi demokrasi dalam masyarakat kurang berfungsi dan lemahnya pengaruh lembaga-lembaga legislatif dan partai politik di Indonesia. Selain itu, kinerja lembaga-lembaga legislatif dan sejumlah partai politik menjadi tidak berfungsi dengan baik.
Untuk mewujudkan masyarakat sosialis Indonesia, pemerintah melaksanakan konsep ekonomi terpimpin yang berawal dari pemikiran bahwa di dalam masyarakat sosialis, setiap orang dijamin kehidupannya secara layak. Pembentukan Badan Perancang Pembangunan Nasional (Bappenas) pada masa Demokrasi Terpimpin ini sangat menunjukkan ciri khas masa ini, yaitu berkuasanya Presiden secara penuh sebagai kepala negara.
Bergantinya sistem Demokrasi Parlementer menjadi sistem Demokrasi Terpimpin tersebut menyebabkan adanya perubahan dalam kehidupan politik dan ekonomi Indonesia. Melalui perubahan tersebut, penulis dapat mengetahui perbedaan antara kehidupan politik dan ekonomi Indonesia pada masa Demokrasi Parlementer dengan kehidupan politik dan ekonomi Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin.

1.2       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis dapat merumuskan beberapa masalah sebagai berikut :
1.                  Apa perbedaan antara kehidupan politik Indonesia pada masa Demokrasi Parlementer dengan kehidupan politik Indonesia pada masa  Demokrasi Terpimpin?
2.                  Apa perbedaan antara kehidupan ekonomi Indonesia pada masa Demokrasi Parlementer dengan kehidupan ekonomi Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin?

1.3       Tujuan Penulisan
                        Adapun tujuan yang hendak dicapai oleh penulis dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui perpedaan antara kehidupan politik Indonesia pada masa Demokrasi Parlementer dengan kehidupan politik Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin dan kehidupan ekonomi Indonesia pada masa Demokrasi Parlementer dengan kehidupan ekonomi Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin.

1.4       Manfaat Penulisan
                        Dengan dibuatnya makalah ini, penulis berharap agar para pembaca dapat mengetahui perpedaan antara kehidupan politik dan ekonomi Indonesia pada masa Demokrasi Parlementer dengan kehidupan politik dan ekonomi Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin.


BAB II
ISI


            Sistem pemerintahan dalam bidang politik yang dianut pada masa Demokrasi Parlementer, atau yang dikenal juga dengan sebutan Demokrasi Liberal adalah sistem kabinet parlementer. Sistem pemerintahan tersebut berlandaskan pada UUDS 1950 (Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia tahun 1950). Sistem pemerintahan ini menetapkan bahwa kabinet-kabinet atau para menteri bertanggung jawab kepada parlemen. Sistem kabinet parlementer juga menerapkan sistem pemungutan suara (voting) yang digunakan dalam pemilihan umum (Pemilu), mosi, dan demonstrasi sebagai bentuk rakyat dalam mengekspresikan hak untuk ikut serta dalam berpolitik. Selain itu, adanya sistem multipartai pada masa ini menyebabkan terciptanya golongan mayoritas dan minoritas dalam masyrakat, serta adanya sikap mementingkan kepentingan golongan partai politik masing-masing daripada kepentingan bersama.
            Sistem pemerintahan dalam bidang politik yang dianut pada masa Demokrasi Terpimpin adalah sistem kabinet presidensial. Sistem kabinet presidensial berlandaskan pada UUD 1945 (Undang-Undang Dasar tahun 1945) dan kekuasaan tertinggi negara ditempati oleh lembaga eksekutif, yaitu Presiden. Sistem demokrasi ini menganut paham kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Paham tersebut berintikan musyawarah untuk mufakat secara gotong royong antara semua kekuatan nasional yang revolusioner dengan prinsip NASAKOM (nasionalisme, agama, dan komunisme). NASAKOM telah menyatukan kekuatan-kekuatan politik yang terus bersaing sejak masa Demokrasi Parlementer, sehingga mulai tercipta sikap saling gotong royong antar sesama anggota partai politik.
            Pemerintahan pada masa Demokrasi Parlementer dijalankan oleh tujuh kabinet dengan masa jabatan berbeda. Ketujuh kabinet itu adalah Kabinet Natsir dengan masa jabatan antara 6 September 1950 – 18 April 1951, Kabinet Sukiman dengan masa jabatan antara 26 April 1951 – 26 April 1952, Kabinet Wilopo dengan masa jabatan antara 19 Maret 1952 – 2 Juni 1953, Kabinet Ali Sastroamidjojo I dengan masa jabatan antara 31 Juli 1953 – 24 Juli 1955, Kabinet Burhanuddin Harahap dengan masa jabatan antara 12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956, Kabinet Ali Sastroamidjojo II dengan masa jabatan antara 24 Maret 1956 – 14 Maret 1957, dan Kabinet Djuanda (Kabinet Karya) dengan masa jabatan antara 9 April 1957 – 10 Juli 1959. Adapun beberapa tujuan yang hendak dicapai oleh ketujuh kabinet tersebut, yaitu menjaga keamanan dan ketertiban rakyat, meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, mempersiapkan dan menyelenggarakan Pemilu, menyelesaikan masalah dan memperjuangkan Irian Barat ke dalam wiliyah Indonesia, dan melaksanakan politik luar negeri yang bebas aktif. Selain itu, pada masa Demokrasi Parlementer ini juga dibentuk konstituante, sebuah lembaga yang bertugas untuk menyusun dan menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD) baru bagi Indonesia.
            Memasuki masa Demokrasi Terpimpin, sebagai tindak lanjut Dekrit Presiden 1959, pada 10 Juli 1959, Presiden Soekarno membentuk Kabinet Kerja. Dalam kabinet tersebut, Presiden Soekarno bertindak sebagai perdana menteri dan Ir. Djuanda sebagai wakil perdana menteri. Kabinet Kerja ini dibentuk dengan tujuan untuk meningkatkan keamanan dalam negeri, membebaskan Irian Barat, serta meningkatkan produksi sandang dan pangan. Selain itu, Presiden Soekarno juga membentuk badan-badan lain, seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) sebagai pengganti konstituante, Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS), Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Dewan Perancang Nasional (DEPERNAS), Front Nasional sebagai organisasi yang memperjuangkan cita-cita proklamasi dan cita-cita yang terkandung dalam UUD 1945, serta Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) sebagai pengganti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasil Pemilu tahun 1955 pada masa Demokrasi Parlementer.
DPR-GR merupakan sebuah lembaga yang bertugas melaksanakan Demokrasi Terpimpin, merealisasi Amanat Penderitaan Rakyat (AMPERA), dan melaksanakan Manifesto Politik Republik Indonesia (MANIPOL) – pidato Presiden Soekarno pada upacara bendera Peringatan Hari Proklamasi 17 Agustus 1959 yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” – yang dijadikan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) oleh Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dalam sidang Dewan Pertimbangan Agung September 1959.
Untuk meningkatkan sistem ekonomi negara Indonesia, pemerintah melakukan proses nasionalisasi ekonomi pada masa Demokrasi Parlementer. Proses tersebut menyangkut tiga bidang utama, yaitu nasionalisasi de Javasche Bank menjadi Bank Indonesia (BI) yang berfungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi negara Indonesia, pembentukan Bank Negara Indonesia, dan menukar mata uang Jepang ke mata uang Indonesia yang disebut sebagai Oeang Repoeblik Indonesia (ORI). Selain proses nasionalisasi itu, terdapat beberapa kebijakan yang dilakukan Kabinet Ali I dan Kabinet Ali II guna meningkatkan taraf perekonomian bangsa Indonesia. Program yang dilakukan oleh Kabinet Ali I adalah mencanangkan proyek nasionalisasi ekonomi yang menekankan nasionalisasi sektor perekonomian dan mendukung tumbuh kembangnya para pengusaha pribumi. Sementara itu, pada masa pemerintahan Kabinet Ali II dilakukan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan kaum buruh dan pegawai negeri, serta menyehatkan dan menyeimbangkan anggaran belanja dan keuangan negara.
Pada masa Demokrasi Terpimpin, kebijakan ekonomi terpimpin berubah menjadi “Sistem Lisensi”. Melalui sistem ini, orang-orang yang telah mendapat lisensi atau izin khusus dari pemerintah dapat melakukan kegiatan perekonomian, terutama impor. Untuk mempermudah kegiatan ekspor – impor, Presiden Soekarno membentuk Deklarasi Ekonomi (DEKON) yang berisi peraturan tentang ekspor – impor dan masalah penetapan harga.
Pada masa pemerintahan Kabinet Djuanda di tahun 1958, pemerintah membentuk Dewan Perancang Nasional yang bertugas mempersiapkan rancangan Undang-Undang Pembangunan Nasional Indonesia yang berencana dan bertahap, serta mengawasi dan menilai penyelenggaraan proses pembangunan tersebut.
Pada tahun 1959, pemerintah juga membentuk beberapa kebijakan guna menangani tingkat inflasi yang sangat tinggi di Indonesia, yaitu melakukan praktik devaluasi pecahan mata uang rupiah kertas dari Rp1000 menjadi Rp100 dan Rp500 menjadi Rp50, membekukan sebagian dari seluruh simpanan uang di bank-bank Indonesia, dan menyatakan bahwa uang kertas Rp1000 dan Rp500 yang masih berlaku dan telah dikonversi menjadi Rp100 dan Rp50 harus ditukar dengan uang kertas yang baru. Kebijakan tersebut menimbulkan krisis likuiditas di berbagai faktor, sehingga pemerintah membentuk Panitia Penampung Operasi Keuangan (PPOK) untuk menindaklanjuti dampak-dampak kebijakan moneter tersebut.
Pada tahun 1963, Dewan Perancang Nasional diubah menjadi Badan Perancang Pembangunan Nasional (Bappenas) yang bertugas menyusun rencana perekonomian dan moneter jangka panjang tahunan (baik dalam taraf nasional maupun daerah), mengawasi kinerja pelaksanaan pembangunan, serta mempersiapkan dan menilai madataris untuk MPRS.
Dalam menangani krisis moneter di Indonesia, pemerintah juga mengeluarkan beberapa kebijakan perekonomian, seperti menetapkan pendirian Bank Tunggal Milik Negara sebagai wadah bagi arus perputaran sirkulasi antar bank sentral maupun bank umum, serta mengeluarkan uang rupiah baru yang nilainya 1000 kali dari uang rupiah lama.




BAB III
PENUTUP


3.1       Kesimpulan
                        Perbedaan antara kehidupan politik Indonesia pada masa Demokrasi Parlementer dengan kehidupan politik Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin terdapat pada sistem pemerintahan, landasan pemerintahan, program kerja, serta lembaga-lembaga atau badan-badan dan organisasi yang terbentuk. Selain itu, perbedaan antara kehidupan politik Indonesia pada masa Demokrasi Parlementer dengan kehidupan politik Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin juga terdapat pada tugas dan tujuan dari dibentuknya lembaga-lembaga atau badan-badan dan organisasi nasional tersebut.
                        Perbedaan antara kehidupan ekonomi Indonesia pada masa Demokrasi Parlementer dengan kehidupan ekonomi pada masa Demokrasi Terpimpin terdapat pada upaya dan kebijakan-kebijakan yang dilakukan untuk meningkatkan taraf perekonomian bangsa dan menjaga kestabilan perekonomian negara, serta meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia.
3.2       Saran
Dalam bekerja sama, khususnya bekerja sama dalam membangun dan mengembangkan pemerintahan, kita sebaiknya lebih mementingkan kepentingan bersama daripada kepentingan golongan atau anggota maupun kepentingan pribadi. Selain itu, kita juga perlu menumbuhkan dan mengembangkan sikap saling bahu membahu serta gotong royong dalam menjalankan pemerintahan. Dengan menanamkan sikap-sikap positif tersebut dalam kehidupan bernegara, dapat mendukung tercapainya tujuan dan kesejahteraan suatu negara.



DAFTAR PUSTAKA


Alfian, Magdalia, dkk. 2007. Sejarah untuk SMA dan MA Kelas XI Program Ilmu Pengetahuan Alam. Jakarta: Esis.

Cahyaningsih, Sri Tutik. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan untuk SMP dan MTs Kelas VIII. Semarang: Esis.

No comments:

Post a Comment