BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Masa Demokrasi
Parlementer di Indonesia diwarnai oleh pemerintahan dengan tujuh masa kabinet
yang berbeda. Ketujuh kabinet itu adalah Kabinet Natsir, Kabinet Sukiman,
Kabinet Wilopo, Kabinet Ali Sastroamidjojo I, Kabinet Burhanuddin Harahap,
Kabinet Ali Sastroamidjojo II, dan Kabinet Djuanda atau Kabinet Karya. Dalam
sistem Demokrasi Parlementer, para menteri atau para kabinet tersebut bertanggung
jawab secara langsung kepada parlemen. Hal itu mengakibatkan kabinet sering jatuh karena mosi tidak percaya dari
parlemen. Kinerja kabinet juga sering mengalami kebuntuan dan ditentang oleh parlemen
karena adanya kelompok oposisi yang kuat sehingga mengakibatkan timbulnya konflik
kepentingan dalam proses perumusan dan pembuatan kebijakan negara. Selain itu, pada masa ini juga terjadi
kegagalan konstituante dalam menyusun dan menetapkan Undang-Undang
Dasar baru bagi Indonesia karena adanya sikap mementingkan golongan tertentu atau partai
politik dalam konstituante.
Pada masa Kabinet Sukiman, pemerintah mulai memberlakukan proses nasionalisasi ekonomi yang menyangkut tiga bidang utama, yaitu nasionalisasi de Javasche Bank
menjadi Bank Indonesia, pembentukan Bank Negara Indonesia, dan pemberlakuan
Oeang Repoeblik Indonesia (ORI). Namun, proses
nasionalisasi ekonomi tersebut tidak berjalan mulus karena konflik kepentingan politik
antar kelompok di dalam tubuh konstituante dan parlemen.
Perpindahan
dari sistem Demokrasi Parlementer menjadi sistem Demokrasi Terpimpin diwarnai
dengan ancaman konflik internal dalam negara karena tingginya benturan
kepentingan antar kelompok politik di Indonesia. Karena itu, pada 5 Juli 1959,
Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang menyatakan dibubarkannya
konstituante, pemberlakuan kembali UUD 1945 sebagai pengganti UUDS 1950 dan
sebagai UUD resmi Negara Republik Indonesia, serta pembentukan MPRS dan DPAS
dalam tempo secepatnya. Pengeluaran Dekrit Presiden ini merupakan akhir dari
masa Demokrasi Parlementer dan awal terbentuknya masa Demokrasi Terpimpin
sebagai pengganti Demokrasi Parlementer yang telah gagal mencapai tujuannya
dalam bidang politik dan ekonomi Indonesia.
Dalam pelaksanaan sistem Demokrasi Terpimpin, Partai
Komunis Indonesia (PKI) yang diketuai oleh Presiden Soekarno berusaha untuk
mengambil alih kekuasaan di Indonesia. Hal itu menyebabkan sendi-sendi
demokrasi dalam masyarakat kurang berfungsi dan lemahnya pengaruh
lembaga-lembaga legislatif dan partai politik di Indonesia. Selain itu, kinerja
lembaga-lembaga legislatif dan sejumlah partai politik menjadi tidak berfungsi
dengan baik.
Untuk
mewujudkan masyarakat sosialis Indonesia, pemerintah melaksanakan konsep
ekonomi terpimpin yang berawal dari pemikiran bahwa di dalam masyarakat
sosialis, setiap orang dijamin kehidupannya secara layak. Pembentukan Badan
Perancang Pembangunan Nasional (Bappenas) pada masa Demokrasi Terpimpin ini
sangat menunjukkan ciri khas masa ini, yaitu berkuasanya Presiden secara penuh
sebagai kepala negara.
Bergantinya sistem Demokrasi Parlementer menjadi sistem
Demokrasi Terpimpin tersebut menyebabkan adanya perubahan dalam kehidupan
politik dan ekonomi Indonesia. Melalui perubahan tersebut, penulis dapat
mengetahui perbedaan antara kehidupan politik dan ekonomi Indonesia pada masa
Demokrasi Parlementer dengan kehidupan politik dan ekonomi Indonesia pada masa
Demokrasi Terpimpin.
1.2 Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis dapat merumuskan beberapa masalah sebagai berikut :
1.
Apa
perbedaan antara kehidupan politik Indonesia pada masa Demokrasi Parlementer dengan kehidupan politik Indonesia pada masa
Demokrasi Terpimpin?
2.
Apa
perbedaan antara kehidupan ekonomi
Indonesia pada masa Demokrasi Parlementer dengan kehidupan ekonomi Indonesia
pada masa Demokrasi Terpimpin?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun
tujuan yang hendak dicapai oleh penulis dari pembuatan makalah ini adalah untuk
mengetahui perpedaan antara kehidupan politik Indonesia pada masa Demokrasi
Parlementer dengan kehidupan politik Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin dan
kehidupan ekonomi Indonesia pada masa Demokrasi Parlementer dengan kehidupan ekonomi
Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin.
1.4 Manfaat Penulisan
Dengan
dibuatnya makalah ini, penulis berharap agar para pembaca dapat mengetahui
perpedaan antara kehidupan politik dan ekonomi Indonesia pada masa Demokrasi
Parlementer dengan kehidupan politik dan ekonomi Indonesia pada masa Demokrasi
Terpimpin.
BAB II
ISI
Sistem pemerintahan dalam bidang
politik yang dianut pada masa Demokrasi Parlementer, atau yang dikenal juga
dengan sebutan Demokrasi Liberal adalah sistem kabinet parlementer. Sistem
pemerintahan tersebut berlandaskan pada UUDS 1950 (Undang-Undang Dasar Sementara
Republik Indonesia tahun 1950). Sistem pemerintahan ini menetapkan bahwa
kabinet-kabinet atau para menteri bertanggung jawab kepada parlemen. Sistem
kabinet parlementer juga menerapkan sistem pemungutan suara (voting) yang digunakan dalam pemilihan
umum (Pemilu), mosi, dan demonstrasi sebagai bentuk rakyat dalam
mengekspresikan hak untuk ikut serta dalam berpolitik. Selain itu, adanya
sistem multipartai pada masa ini menyebabkan terciptanya golongan mayoritas dan
minoritas dalam masyrakat, serta adanya sikap mementingkan kepentingan golongan
partai politik masing-masing daripada kepentingan bersama.
Sistem pemerintahan dalam bidang
politik yang dianut pada masa Demokrasi Terpimpin adalah sistem kabinet
presidensial. Sistem kabinet presidensial berlandaskan pada UUD 1945
(Undang-Undang Dasar tahun 1945) dan kekuasaan tertinggi negara ditempati oleh
lembaga eksekutif, yaitu Presiden. Sistem demokrasi ini menganut paham
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan. Paham tersebut berintikan musyawarah untuk mufakat
secara gotong royong antara semua kekuatan nasional yang revolusioner dengan
prinsip NASAKOM (nasionalisme, agama, dan komunisme). NASAKOM telah menyatukan
kekuatan-kekuatan politik yang terus bersaing sejak masa Demokrasi Parlementer,
sehingga mulai tercipta sikap saling gotong royong antar sesama anggota partai
politik.
Pemerintahan pada masa Demokrasi
Parlementer dijalankan oleh tujuh kabinet dengan masa jabatan berbeda. Ketujuh
kabinet itu adalah Kabinet Natsir dengan masa jabatan antara 6 September 1950 –
18 April 1951, Kabinet Sukiman dengan masa jabatan antara 26 April 1951 – 26
April 1952, Kabinet Wilopo dengan masa jabatan antara 19 Maret 1952 – 2 Juni
1953, Kabinet Ali Sastroamidjojo I dengan masa jabatan antara 31 Juli 1953 – 24
Juli 1955, Kabinet Burhanuddin Harahap dengan masa jabatan antara 12 Agustus
1955 – 3 Maret 1956, Kabinet Ali Sastroamidjojo II dengan masa jabatan antara
24 Maret 1956 – 14 Maret 1957, dan Kabinet Djuanda (Kabinet Karya) dengan masa
jabatan antara 9 April 1957 – 10 Juli 1959. Adapun beberapa tujuan yang hendak
dicapai oleh ketujuh kabinet tersebut, yaitu menjaga keamanan dan ketertiban
rakyat, meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, mempersiapkan dan
menyelenggarakan Pemilu, menyelesaikan masalah dan memperjuangkan Irian Barat
ke dalam wiliyah Indonesia, dan melaksanakan politik luar negeri yang bebas
aktif. Selain itu, pada masa Demokrasi Parlementer ini juga dibentuk
konstituante, sebuah lembaga yang bertugas untuk menyusun dan menetapkan
Undang-Undang Dasar (UUD) baru bagi Indonesia.
Memasuki masa Demokrasi Terpimpin,
sebagai tindak lanjut Dekrit Presiden 1959, pada 10 Juli 1959, Presiden
Soekarno membentuk Kabinet Kerja. Dalam kabinet tersebut, Presiden Soekarno
bertindak sebagai perdana menteri dan Ir. Djuanda sebagai wakil perdana
menteri. Kabinet Kerja ini dibentuk dengan tujuan untuk meningkatkan keamanan
dalam negeri, membebaskan Irian Barat, serta meningkatkan produksi sandang dan
pangan. Selain itu, Presiden Soekarno juga membentuk badan-badan lain, seperti
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) sebagai pengganti konstituante,
Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS), Dewan Pertimbangan Agung (DPA),
Dewan Perancang Nasional (DEPERNAS), Front Nasional sebagai organisasi yang
memperjuangkan cita-cita proklamasi dan cita-cita yang terkandung dalam UUD
1945, serta Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) sebagai pengganti
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasil Pemilu tahun 1955 pada masa Demokrasi
Parlementer.
DPR-GR merupakan sebuah lembaga yang bertugas melaksanakan Demokrasi
Terpimpin, merealisasi Amanat Penderitaan Rakyat (AMPERA), dan melaksanakan
Manifesto Politik Republik Indonesia (MANIPOL) – pidato Presiden Soekarno pada
upacara bendera Peringatan Hari Proklamasi 17 Agustus 1959 yang berjudul
“Penemuan Kembali Revolusi Kita” – yang dijadikan Garis-Garis Besar Haluan
Negara (GBHN) oleh Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dalam sidang Dewan
Pertimbangan Agung September 1959.
Untuk meningkatkan sistem ekonomi negara Indonesia, pemerintah melakukan
proses nasionalisasi ekonomi pada masa Demokrasi Parlementer. Proses tersebut
menyangkut tiga bidang utama, yaitu nasionalisasi de Javasche Bank menjadi Bank
Indonesia (BI) yang berfungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi negara
Indonesia, pembentukan Bank Negara Indonesia, dan menukar mata uang Jepang ke
mata uang Indonesia yang disebut sebagai Oeang Repoeblik Indonesia (ORI).
Selain proses nasionalisasi itu, terdapat beberapa kebijakan yang dilakukan
Kabinet Ali I dan Kabinet Ali II guna meningkatkan taraf perekonomian bangsa
Indonesia. Program yang dilakukan oleh Kabinet Ali I adalah mencanangkan proyek
nasionalisasi ekonomi yang menekankan nasionalisasi sektor perekonomian dan
mendukung tumbuh kembangnya para pengusaha pribumi. Sementara itu, pada masa
pemerintahan Kabinet Ali II dilakukan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan
kaum buruh dan pegawai negeri, serta menyehatkan dan menyeimbangkan anggaran
belanja dan keuangan negara.
Pada masa Demokrasi Terpimpin, kebijakan ekonomi terpimpin berubah menjadi
“Sistem Lisensi”. Melalui sistem ini, orang-orang yang telah mendapat lisensi
atau izin khusus dari pemerintah dapat melakukan kegiatan perekonomian,
terutama impor. Untuk mempermudah kegiatan ekspor – impor, Presiden Soekarno
membentuk Deklarasi Ekonomi (DEKON) yang berisi peraturan tentang ekspor –
impor dan masalah penetapan harga.
Pada masa pemerintahan Kabinet Djuanda di tahun 1958, pemerintah membentuk
Dewan Perancang Nasional yang bertugas mempersiapkan rancangan Undang-Undang
Pembangunan Nasional Indonesia yang berencana dan bertahap, serta mengawasi dan
menilai penyelenggaraan proses pembangunan tersebut.
Pada tahun 1959, pemerintah juga membentuk beberapa kebijakan guna
menangani tingkat inflasi yang sangat tinggi di Indonesia, yaitu melakukan
praktik devaluasi pecahan mata uang rupiah kertas dari Rp1000 menjadi Rp100 dan
Rp500 menjadi Rp50, membekukan sebagian dari seluruh simpanan uang di bank-bank
Indonesia, dan menyatakan bahwa uang kertas Rp1000 dan Rp500 yang masih berlaku
dan telah dikonversi menjadi Rp100 dan Rp50 harus ditukar dengan uang kertas
yang baru. Kebijakan tersebut menimbulkan krisis likuiditas di berbagai faktor,
sehingga pemerintah membentuk Panitia Penampung Operasi Keuangan (PPOK) untuk
menindaklanjuti dampak-dampak kebijakan moneter tersebut.
Pada tahun 1963, Dewan Perancang Nasional diubah menjadi Badan Perancang
Pembangunan Nasional (Bappenas) yang bertugas menyusun rencana perekonomian dan
moneter jangka panjang tahunan (baik dalam taraf nasional maupun daerah),
mengawasi kinerja pelaksanaan pembangunan, serta mempersiapkan dan menilai
madataris untuk MPRS.
Dalam menangani krisis moneter di Indonesia, pemerintah juga mengeluarkan
beberapa kebijakan perekonomian, seperti menetapkan pendirian Bank Tunggal
Milik Negara sebagai wadah bagi arus perputaran sirkulasi antar bank sentral
maupun bank umum, serta mengeluarkan uang rupiah baru yang nilainya 1000 kali
dari uang rupiah lama.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Perbedaan
antara kehidupan politik Indonesia pada masa Demokrasi Parlementer dengan
kehidupan politik Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin terdapat pada sistem
pemerintahan, landasan pemerintahan, program kerja, serta lembaga-lembaga atau
badan-badan dan organisasi yang terbentuk. Selain itu, perbedaan antara
kehidupan politik Indonesia pada masa Demokrasi Parlementer dengan kehidupan
politik Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin juga terdapat pada tugas dan
tujuan dari dibentuknya lembaga-lembaga atau badan-badan dan organisasi
nasional tersebut.
Perbedaan
antara kehidupan ekonomi Indonesia pada masa Demokrasi Parlementer dengan
kehidupan ekonomi pada masa Demokrasi Terpimpin terdapat pada upaya dan
kebijakan-kebijakan yang dilakukan untuk meningkatkan taraf perekonomian bangsa
dan menjaga kestabilan perekonomian negara, serta meningkatkan kesejahteraan
rakyat Indonesia.
3.2 Saran
Dalam bekerja
sama, khususnya bekerja sama dalam membangun dan mengembangkan pemerintahan,
kita sebaiknya lebih mementingkan kepentingan bersama daripada kepentingan
golongan atau anggota maupun kepentingan pribadi. Selain itu, kita juga perlu
menumbuhkan dan mengembangkan sikap saling bahu membahu serta gotong royong
dalam menjalankan pemerintahan. Dengan menanamkan sikap-sikap positif tersebut
dalam kehidupan bernegara, dapat mendukung tercapainya tujuan dan kesejahteraan
suatu negara.
DAFTAR PUSTAKA
Alfian,
Magdalia, dkk. 2007. Sejarah untuk SMA
dan MA Kelas XI Program Ilmu Pengetahuan Alam. Jakarta: Esis.
Cahyaningsih,
Sri Tutik. 2007. Pendidikan
Kewarganegaraan untuk SMP dan MTs Kelas VIII. Semarang: Esis.

No comments:
Post a Comment